Keceriaan terpancar dari raut wajah Pratiwi. Perempuan yang berprofesi sebagai pengarah gaya majalah Cosmopolitan Indonesia ini seperti larut dalam kesenangan saat lomba balap rorodaan.
Rorodaan adalah salah satu permainan tradisional khas Sunda yang berbentuk seperti sepeda roda tiga untuk balita, namun terbuat dari bambu. Cara bermainnya cukup sederhana. Satu orang mendorong tinggal mendorong pengendara rorodaan.
Dibutuhkan keseimbangan dan kerja sama yang baik antara si pengendara dan pendorong agar mereka sampai di tujuan dengan mulus dan cepat.
"Enggak pernah main seperti ini. Seru dan lumayan susah juga," ujar perempuan yang disapa Tiwi ini.
Uthe juga tak kalah cerianya dari Pratiwi. Tak jauh dari area kompetisi rorodaan, jurnalis dari majalah Pesona ini tampak asyik memutar gasing bambu. Berbeda dari gasing umumnya, gasing bambu berbentuk tabung dengan tangkai kecil pada bagian atas dan bawah. Untuk memutarnya, pemain harus mengikatkan tali pada tangkai atas, lalu ditarik dengan cepat. Uniknya, setelah gasing berputar, pemain harus menaruhnya di atas tatakan, lalu pemain harus berjalan sambil membawa tatakan dengan gasing yang berputar.
"Ternyata permaianan tradisional itu tak semudah yang saya kira," ungkap dia.
Uthe dan Pratiwi adalah bagian dari peserta Alimpaido yaitu olimpiade versi permainan tradisional yang digelar dalam rangkaian acara Teh Kotak Thanks to Nature di Sentul, Jawa Barat, Kamis (20/6/2013).
Selain rorodaan dan gasing, Alimpaido yang digegas pertama kalinya oleh Komunitas Hong, juga melombakan permainan bedil jepret dan gatrik.
Keduanya mengaku cukup terhibur sekaligus terkesima dengan permaian tradisional yang keadaannya saat ini sudah mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia sendiri akibat invasi permainan modern.
Sehari sebelumnya, Rabu (19/6/2013), Moh. Zaini Alif.,S.Sn.,M.Ds., seorang pemerhati, peneliti permaian tradisional, dan penggegas Komunitas Hong berbagi cerita tentang permaian tradisional, mulai makna, filosofi dan prinsip kehidupan di baliknya, serta manfaat bagi tumbuh kembang anak.
Bertumpu pada buku "Homo Ludens" (Manusia Bermain) karya Johan Huizinga (1959), Zaini memaparkan manusia pada hakikatnya adalah manusia yang bermain.
Manusia memang lahir dan ditakdirkan untuk bermain. Ada peraturan dalam permainan, jika kita melanggar berarti kita "bermain-main" dalam kehidupan ini.
"Bermain adalah proses menjadi manusia seutuhnya," ungkap pria asal Kampung Bolang, Subang, Jawa Barat, ini.
Lewat bermain, manusia dapat belajar mengenal lebih dalam tentang dirinya sendiri, lalu alam, bahkan Tuhan.
"Nilai manfaat itu terdapat dalam hampir semua permaianan tradisional Indonesia," tutur Zaini.
Dalam penelitiannya selama bertahun-tahun, alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini mencatat Indonesia memiliki lebih dari 800 permainan tradisional.
"Indonesia adalah negara bermain, tapi bukan main-main. Sayang permaian tradisional ini sudah mulai dilupakan akibat derasnya invasi permainan modern," ujar Zaini.
Secara singkat, yang membedakan permainan tradisional dan modern adalah tujuan dari permainan itu sendiri. Permaian modern lebih mengajarkan tentang kemenangan. Sementara permaianan tradisional lebih mementingkan kesenangan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar